Cerita Dari Tukang Klik Tombol Next di Slide Presentasi, dan Caranya Mengubah Situasi
Dari sekian banyak perasaan yang membuat tidak nyaman, grogi merupakan yang cukup membuat jengkel. Grogi ketika harus presentasi di depan teman sekelas saat SMA maupun kuliah sudah jadi langganan buat saya.
Kalau diingat-ingat lagi, sepertinya saya nyaris tidak pernah presentasi langsung di depan banyak orang dan akhirnya memilih jadi penggembira saja di tim presentasi: yaitu sebagai tukang desain dan klik tombol next di slide saat teman yang lain presentasi.
Sampai tiba saatnya harus sidang skripsi. Sudah tidak ada lagi kelompok, cuma saya sendiri. Mau tidak mau saya harus presentasi di depan dosen penguji dan siap dengan semua kemungkinan.
Latihan presentasi secara mandiri sering saya lakukan beberapa minggu sebelum sidang. Walaupun saat hari H masih terasa gugup, tapi saat itu setidaknya saya sudah berhasil mengatasi grogi dan menyelesaikan sidang skripsi dengan nilai yang cukup memuaskan.
Sumber: unsplash.com |
Singkat cerita, sekitar 6 tahun setelah momen sidang skripsi itu, saya dapat tawaran untuk mengisi acara sebagai praktisi UI/UX Design di tempat saya bekerja. Tawaran tersebut ceritanya akan didapatkan secara bergilir oleh seluruh anggota tim saya saat itu. Waktu itu rasanya masih ragu-ragu untuk mengiyakan atau tidak tawaran tersebut, mengingat saya merasa belum sejago itu di bidang UI/UX Design.
"Sepertinya tawaran seperti ini belum tentu datang lagi"
jadi salah satu kalimat pegangan saya sejak mulai berkarir. Akhirnya saya iyakan saja tawaran sebagai pengisi acara itu, toh acaranya juga online, rasa grogi harusnya tidak sebesar itu, alias masih bisa dikendalikan.
Ternyata benar, di hari H setelah mempersiapkan semua kebutuhan, beberapa menit sebelum acara dimulai saya terbilang cukup tenang. Ketika acara berlangsung pun tidak banyak kendala (kecuali koneksi internet dari beberapa peserta), tiap pertanyaan bisa saya jawab, dan misalkan ada pertanyaan yang belum bisa terjawab pun saya dapat bantuan dari pembawa acara. Intinya, acara tersebut berjalan lancar.
Selesai acara, puasnya luar biasa. Apresiasi yang diberikan para peserta semakin menambah kepuasan.
"Bisa nih ternyata!"
saya ucapkan ke diri sendiri, sekaligus sebagai pengingat untuk tidak terlalu khawatir terhadap hal-hal yang belum tentu kejadian.
Dan kalau diingat-ingat lagi, sepertinya saya sering bertemu momen "bisa nih ternyata" itu, padahal sudah dibuat ketakutan sendiri dengan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Yang artinya, sering kali hal-hal yang kita takutkan itu malah tidak terjadi, pikiran buruk lah yang membuatnya terjadi.
Dan ada satu cara lagi yang biasa saya pakai sebelum memutuskan untuk mengerjakan suatu hal yang rasanya tidak yakin bisa memberikan hasil bagus: yaitu berdamai dengan resiko terburuk.
Contoh Ketakutan:
- Apa yang terjadi kalau saya tidak bisa menjelaskan materi presentasi dengan baik ke peserta acara? Padahal mereka menganggap saya praktisi.
Cara Berdamai:
- Paling saya akan dapat komen negatif di kolom chat Zoom dan tidak diundang acara lagi. Selesai acara sudah tidak bertemu mereka dan saya bisa kembali ke pekerjaan utama sambil terus memperbaiki kekurangan.
Ajaibnya, setelah tahu resiko terburuknya akan seperti apa, dan setelah mengucapkan resikonya ke diri sendiri, ternyata rasa takutnya lumayan hilang. Nah, di momen rasa takut terasa lumayan hilang itu yang saya gunakan untuk ambil keputusan mengiyakan atau tidak ketika akan mengerjakan sesuatu.
●●●
Kesimpulan:
Kalau bisa dapat cara untuk berdamai dengan ketakutan itu lebih cepat, sepertinya akan ada lebih banyak pengalaman yang sudah saya dapatkan. Tapi mungkin memang harus begitu, supaya saya jadi kapok untuk takut mencoba peluang.
⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼
Comments
Post a Comment