Mengenai Iri dan Perbandingan

iri hati adalah penyakit hati
Original image: unsplash.com


Empat tahun lalu, setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, saat itu saya merasa cukup beruntung karena bisa langsung mendapatkan pengalaman kerja pertama di sebuah perusahaan startup yang belum lama berdiri, tidak lama setelah saya lulus. Sampai akhirnya saya membuka sosial media dan melihat banyak kenalan yang mengunggah kesibukannya di pekerjaan barunya yang bisa dibilang mentereng.

Dan kemudian saya mulai merasa kurang bersyukur atas apa yang saya miliki. Saya yakin banyak dari kita yang mengalami hal seperti ini. Kebahagiaan yang berhasil kita capai bisa tiba-tiba hilang hanya karena sekilas pandangan yang ada di sosial media.

Saat itu saya berhasil menyelesaikan studi tepat waktu, indeks prestasi pun boleh dibilang cukup bagus untuk ukuran saya, dan tidak perlu waktu terlalu lama sampai mendapatkan pekerjaan pertama. Dan seketika semua hal yang sempat saya anggap pencapaian itu seperti hilang begitu saja, karena sosial media.

Timbul pikiran apakah usaha yang selama ini saya lakukan kurang, kenapa keberuntungan tidak memihak ke saya, dan sebagainya, dan sebagainya. Jika memiliki pikiran seperti ini dan berhasil diubah menjadi energi untuk lebih semangat mencapai hasil yang lebih baik dari segala yang kita usahakan, tentu tidak masalah.

Yang repot adalah ketika yang terjadi justru membuat kita semakin mengutuki apa yang kita miliki dan menjelek-jelekkan pencapaian orang lain, yang kita tidak tahu apa saja yang sudah orang tersebut lewati sampai berada di titik tersebut. Akhirnya kita tidak mendapatkan hal yang lebih baik karena sibuk dengan urusan mengutuki pencapaian sendiri dan menghakimi pencapaian orang lain.

●●●

Memang, mau tidak mau, perasaan iri dan tindakan untuk membanding-bandingkan akan selalu ada di setiap kita, sekecil apapun itu. Karena memang pada dasarnya lebih mudah menilai apa yang tampak daripada yang tidak tampak. Dan itulah yang membuat rasa iri dan membanding-bandingkan selalu muncul tiap kali melihat ada sesuatu yang tampak "lebih" dari yang sudah kita miliki.

Perasaan itu cukup lama saya miliki sampai di suatu kesempatan saya mengetahui sendiri ada hal yang bertolak belakang dari hal yang selama ini sudah dengan repot membuat saya iri.


topeng sosial media
Original image: unsplash.com


Saat itu di sebuah sosial media, saya mendapati beberapa orang yang saya ikuti, seperti biasa, mengunggah kesibukannya dengan pekerjaan yang dia bangga-banggakan melalui foto bersama rekan-rekan kerjanya. Anehnya di sosial media lain, orang-orang yang sama ini justru mencurahkan isi hatinya atas pekerjaan yang dia lakukan, rekan kerja yang dia miliki, dan isinya sangat berkebalikan dengan yang sudah dia unggah di sosial media yang satunya.

Lho? Aneh kan. Yang selama ini saya repot-repot perhatikan dan membuat iri dan kurang bersyukur, ternyata punya sisi lain. Seperti ada topeng yang sedang dipakai di satu sosial media, dan di sosial media lain topeng tersebut dicopot dan terlihatlah apa yang sebenarnya ada di baliknya.

Dari momen itu akhirnya pelan-pelan saya belajar bahwa ternyata apa yang nampak baik belum tentu seperti itu juga sebenarnya. Begitu juga dengan apa yang nampak biasa atau remeh belum tentu seperti itu juga sebenarnya.

Ada yang bekerja sebagai karyawan biasa dengan gaji yang serba pas untuk mencukupi kehidupannya, bahkan untuk membeli hal-hal yang diinginkan sebagai hiburan, harus menunggu berbulan-bulan dari hasil uang tabungan. Tapi dia berhasil mendapatkan kebahagiaan lain karena mau mensyukuri yang dia punya, bisa selalu meluangkan waktu untuk keluarganya, atau selalu bisa menyisihkan sedikit dari yang dia miliki untuk bisa tetap bersedekah.

Ada yang bekerja sebagai pimpinan dari banyak perusahaan dengan gaji yang serba lebih untuk kehidupannya, bahkan semua hal yang ingin dibeli bisa dengan mudahnya dibeli. Tapi dia tidak sebahagia itu karena selalu merasa kurang dari apa yang sudah dia miliki, waktu dengan keluarga hampir tidak pernah ada, dan memiliki banyak tekanan karena begitu banyak tanggung jawab yang harus diemban.

●●●

rasa syukur, rasa menerima apa yang ada
Original image: unsplash.com


Hidup sepertinya memang soal menerima porsi dari apa yang sudah kita usahakan. Ketika kita bisa menerima, maka yang kita rasakan adalah bahagia. Ketika kita selalu merasa kurang, maka yang kita rasakan adalah selalu tidak tenang.

Saya pun kadang masih memiliki perasaan iri dan membanding-bandingkan tersebut, walaupun tidak sebesar dulu. Karena saya pun masih terus belajar dan berusaha untuk bisa lebih bersyukur.

Pernah, sepulang kerja dari kantor, menaiki motor yang sama yang selalu saya gunakan sejak SMA dulu, melewati jalan pulang, saya melihat orang lalu lalang dengan kendaraannya dan setelan kerjanya. Lalu saya mulai berangan-angan "Kalau saya memiliki pekerjaan seperti mereka yang nampak mewah itu apakah saya bisa lebih bahagia ya?"

Kemudian saya lihat apa yang saya miliki sekarang. Dengan bekerja bisa tetap pakai setelan kaos + celana jeans + sepatu yang santai, punya motor yang ramping yang bisa meliuk-liuk di antara mobil dan bus ketika jalanan macet, bisa melakukan hobi sepulang kerja, dan ketika saatnya menemui keluarga saya bisa luangkan waktu, rasanya jauh lebih banyak yang bisa saya syukuri dari apa yang sudah saya miliki sekarang.

Kemudian perasaan iri dan keinginan untuk membanding-bandingkan tadi hilang bersamaan dengan rasa syukur yang berhasil kembali saya dapatkan.


⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼⎼


Comments