Renungan Ramadhan Lalu

Bulan Ramadhan, Buka puasa, tarawih, sahur, makna Ramadhan, hikmah Ramadhan, Lebaran, Idul Fitri, Rembang, masbobz, masbobz.com
sumber dari: unsplash.com


Sempat khawatir apakah bisa mendapatkan cuti untuk libur lebaran atau tidak, karena ada semacam peraturan tak tertulis di kantor untuk ada yang jaga kandang, pada akhirnya saya bisa merasakan mudik lebih awal kemarin dan berlebaran di kampung halaman, Rembang.

Mudik lebih awal, berarti saya berkesempatan untuk bisa merasakan puasa Ramadhan di rumah dan menikmati masakan ibu. Selalu menyenangkan bisa merasakan momen ini. Antusiasme saya masih sama seperti dulu, tiap kali melihat ibu menyiapkan hidangan untuk berbuka, dengan menu-menu andalannya seperti Sambel Ikan Panggang, Bakwan Jagung, Tahu Isi, dan masih banyak lagi.

Jika dulu saat saya masih kecil, ibu biasa mempersiapkannya sendirian, beberapa tahun terakhir beliau sudah mendapatkan bantuan dari adik saya yang tiba-tiba sudah beranjak besar dan bisa membantu pekerjaan ibu. Melihat bapak sibuk dengan kegiatannya memotongi tanaman yang mulai tumbuh panjang di taman rumah juga tetap terasa menyenangkan untuk saya.

Dan, saya sendiri, apa yang saya lakukan? Tentunya memberikan semangat pada ibu dan adik yang sedang mempersiapkan hidangan berbuka, karena nantinya saya kebagian tugas besar untuk jadi mesin giling dari hidangan yang tersedia 😆

● ● ●

Sejak beberapa tahun terakhir (saya lupa persisnya sejak kapan), sepertinya sejak saya SMA, ada beberapa tradisi di keluarga kecil kami selama bulan Ramadhan. Diantaranya adalah, Besik Makam Simbah, dan Beli Makanan Enak untuk Berbuka.

Di saat sedang melakukan dua tradisi tersebut kemarin, saya tiba-tiba merenung dan seperti bicara dengan diri saya sendiri. Dan jika diambil judul dari masing-masing renungan tersebut maka judulnya kira-kira seperti ini:

1. Kita semua akan kembali, kenapa harus berkelahi untuk materi

Yang ini saya dapatkan ketika sedang besik di makam simbah. Bagi yang belum tahu istilah besik makam, kurang lebih penjelasannya adalah membersihkan kuburan/makam dari tanaman liar yang tumbuh. Tujuannya adalah ketika nanti saat Lebaran tiba, dan keluarga besar berkunjung ke makam untuk Tahlilan, kondisi makam sudah dalam keadaan yang layak. Selain itu juga bertujuan untuk menghormati almarhum simbah yang sudah berpulang ke Rahmatullah.

Setelah dinilai sudah cukup dewasa, jika biasanya bapak sendirian besik makam, saya mulai diajak untuk ikut membantu juga (sepertinya sejak SMA), dan masih berlanjut hingga sekarang tiap saya mudik.

Ketika sedang membersihkan tanaman-tanaman liar dari area makam, tiba-tiba saya berbicara dengan diri saya sendiri dalam bahasa Jawa:
"Lha iyo, awak dewe iki bakale yo mbalik maneh nang Gusti Allah. Arep kere opo sugih, podo-podo dikubur nang njero lemah. Lha kok yo isih akeh wong sing mentala tukaran perkara donya. Donyamu kui ora digowo mati. Sing penting iso diwenehi cukup karo iso syukur iku wes penak pol."

(Dalam Bahasa Indonesia):
"Kita semua ini nantinya akan kembali ke Gusti Allah. Mau miskin atau kaya, sama-sama dikubur di dalam tanah. Kok ya masih banyak saja orang-orang yang tega berkelahi karena permasalahan duniawi/harta. Hartamu itu tidak dibawa mati. Yang penting bisa diberikan kecukupan dan bisa bersyukur itu sudah nikmat sekali"


Sering rasanya keluhan yang saya sampaikan diatas (soal masih banyaknya orang yang tega menghalalkan segala cara untuk mencapai kepuasan duniawi) terjadi di masyarakat, tanpa mereka pernah ingat akan kemana mereka kembali.

Saya bersyukur memiliki tradisi besik makam seperti ini tiap tahunnya ketika pulang kampung. Menurut saya, dengan berkunjung ke makam, entah itu makam kerabat kita atau para wali, adalah terapi yang sangat bagus bagi kejiwaan, karena kita bisa ingat darimana kita berasal, dan kemana kita akan kembali. Dengan begini kita bisa lebih bersyukur atas apa yang telah kita dapatkan dalam hidup.

Banyak orang tahu caranya mendapatkan harta yang lebih banyak. Tapi belum banyak orang yang tahu caranya bersyukur.


2. Membalas kebaikan orang tua walau sedikit

Dan yang satu ini saya dapatkan ketika selesai membelikan masakan favorit keluarga dari Rumah Makan Hien di Rembang, yaitu Capcay Goreng dan Ayam Kecap.

Menu ini pertama kali dikenalkan oleh bapak saat masih aktif bekerja sebagai PNS. Waktu itu saya dan adik masih SD sepertinya. Saat pulang kerja, bapak membawakan menu ini untuk dimakan bersama keluarga. Saya, adik dan ibu sepakat kalau dua menu ini memang enak sejak pertama kali memakannya.

Saat itu tiap beberapa bulan sekali, bapak pasti membelikan kami sekeluarga menu tersebut. Dengan pendapatan yang masih harus diatur lagi untuk biaya sekolah anak-anaknya dan kebutuhan dapur, tapi beliau tetap berusaha untuk bisa memberikan kebahagiaan-kebahagiaan semampu yang beliau bisa.

Di dalam komposisi Capcay yang dibeli tersebut, yang paling kami suka adalah bakso tengiri. Itu luar biasa enak, dan jumlahnya bisa dihitung jari. Semakin menguatkan predikat bahwa dia adalah komposisi istimewa dalam racikan Capcay tersebut. Seringnya, karena senang melihat anak-anaknya makan dengan lahap, ibu dan bapak rela memberikan jatah bakso tengiri-nya kepada anak-anaknya.

Kemudian saya masuk SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi, tradisi makan dua menu tersebut tetap rutin kami lakukan. Dan setelah saya memiliki pendapatan sendiri, sudah dua-tiga tahun terakhir ini pula tiap saya mudik, saya coba membalas kebaikan yang selama ini ibu dan bapak lakukan kepada anak-anaknya, dengan gantian untuk membelikan Capcay goreng dan Ayam kecap.

Rasa masakannya masih sama, tapi ada hal lain yang saya rasakan. Semacam rasa bersyukur bisa sedikit membalas kebaikan ibu dan bapak melalui menu favorit kami ini. Awalnya cuma bicara di dalam hati, tapi akhirnya saya bilang begini ke ibu :
"Mbiyen biasane aku mung iso melu maem nggih, Bu. Saiki Alhamdulillah saged numbaske"
(Dalam Bahasa Indonesia):
"Dulu biasanya saya cuma bisa ikut makan ya, Bu. Sekarang Alhamdulillah bisa membelikan".

Dan ketika mendapatkan ucapan terima kasih dari ibu, bapak, dan adik atas menu tersebut, itu sebaik-baiknya ganjaran yang saya dapatkan.

● ● ●

Syukurlah, Ramadhan kemarin memberikan banyak kebaikan untuk saya. Semoga sedikit cerita ini bisa membuat yang membaca lebih bersyukur atas apa-apa saja yang telah didapatkan dalam hidup.

Comments